Kamis, 11 Oktober 2012

Apakah Islam dan Sains Bisa Rukun?


Bayangkan sejenak, andaikata suatu tim antropolog Mars mengunjungi Planet Bumi antara abad ke-9 dan ke-13. Misi yang dibebankan kepada mereka adalah mengkaji evolusi cultural dan social ras manusia. Dari observasi mereka terungkap bahwa sebagian masyarakat dinamis dan berevolusi kearah bentuk-bentuk yang lebih tinggi dan lebih canggih, sedangkan sebagian yang lain adalah statis dan menjadi lumpuh oleh adat istiadat dan pertikaian yang berkenan dengan ibadah ritual. Baghdad, Tempat pusat intelektual dunia tempat para cendikiawan berkunjung dari negeri-negeri jauh tampak sebagai tempat paling terang di Planet Bumi. Bagi mata Mars, Ibn al-Haytsam dan Omar Khayyam dikenal sebagai dua ilmuwan modern perintis, pembawa intelegensi kosmik universal. Sebaliknya Eropa, dengan paus-pausnya yang jahat, tenggelam dalam pekatnya abad kegelapan.
Andaikan tim luar angkasa tersebut turun ke Bumi pada zaman sekarang. Niscaya dengan agak malu mereka akan terpaksa melaporkan bahwa teori terdahulu itu salah, bagian umat manusia yang dahulu tampaknya menawarkan janji yang “Wah” sekarang tampak terjebak secara tak terhindarkan ke dalam abad pertengahan yang jumud, menolak modernisasidan terpaku mati-matian kepada tradisionalisme. Sebaliknya bagi umat terdahulu dianggap mundur telah mendaki tangga evolusi, dan sekarang sedang menjangkau binatang-binatang.
Perkembangan sains berjalin berkelindan dengan ideology. Oleh sebab itu, masalah mendasar yang senantiasa timbul : apakah agama islam saling melengkapi dengan ilmu pengetahuan alam secara harmonis, atau apakah dijumpai konflik yang tidak terselesaikan antara system metafisika yang didasarkan atas agama dan tuntutan akal dengan penelitian empiris? Selama seribu tahun para filosof dan teolog islam telah mempertimbangkan masalah ini, yang terus menerus mengundang debat intens dan ketaksepakatan, terutama tentang era angkasa luar dan rekayasa genetic.
Secara historis, peradaban islam telah membayar mahal atas kegagalannya memperoleh sains. Tak pelak, kegagalan ini dapat menjelaskan kemunduran peradaban Islam dan menignkatnya Berat selama ratusan tahun. Pada abad pertengahan hubungan Islam dan Barat berbeda secara kualitatif. Tujuh abad kekuasaan muslim di Spanyol member bangsa-bangsa Eropa, antara lain, akses kearah harta tersimpan ilmu pengetahuan Yunani dan Islam. Sebaliknya, konfrontasi yang berkepanjangan dan pahit selama Perang Salib dan selanjutnya dominasi dinasti Utsmani atas semenanjung Balkan, meninggalkan untuk kedua belah pihak prasangka dan kerisihan. Perasaan bermusuhan ini menyebabkan perbedaan-perbedaan antara kedua peradaban menjadi luar biasa. Tapi seperti ditunjukkan oleh Eqbal Ahmed, terdapat kesamaan umum dalam struktur, antara masyarakat Islam dan Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar