Ini sama sekali bukan perdebatan
tentang semantik. Yang menjadi masalah
ialah apakah sains dikembangkan oleh kaum Muslimin pada zaman pertengahan
berkaitan secara khas dengan teologi dan akidah islam, atau apakah
taknik-teknik pada dasarnya milik peradaban umat manusia lain.
Upaya untuk memisahkan sains yang
partikularistik dari yang universalistic sama dengan menanyakan apakah sains
zaman keemasan mesti dinamakan sains Islami atau sain Muslim.
Marilah kita perhatikan
matematika. Jenis problem-problem yang oleh matematikawan Muslim dianggap patut
diperhatikan tidak berbeda dari jenis problem-problem yang menjadi perhatian
matematikawan Mesir, Babylonia, India, Yunani ribuan tahun sebelumnya, atau
yang merupakan mata kajian yang dijadikan objek penelitian beberapa abad
kemudian. Capaian-capaian dalam lapangan ini memberikan kesaksian kepada kenyataan
ini. Jamsyid al-Kasyani merumuskan
teori binomium dan dengan demikian
mengatisipasi teori binomium Newton
yang ditemukan 700 tahun kemudian. Abdul
Wafa’ merumuskan teori sinus dan
trigonometri ; al Khawarizmi mensistematisasi
kajian tentang persamaan-persamaan melalui kajiannua dalam aljabar ; Omar Khayyam mengembangkan
solusi geometris yang berkenaan dengan
persamaan-persamaan pangkat tiga, dan lain-lain. Sementara diperlihatkan bahwa
kecintaan kepada matematika berkaitan langsung dengan doktrin Keesaan (Tauhid). Jelas bahwa kebudayaan-kebudayaan
lain juga mengembangkan matematika yang identik dengan yang dikembangkan di
dunia Muslim.
Kesimpulannya, tak ada sesuatupun dalam
matematika Muslim yang dapat disebut sebagai matematika Islami. Apabila dijumpai
perbedaan, maka perbedaan tersebut hanya fakta bahwa peradaban Muslim
berprestasi lebih baik ketimbang peradaban-peradaban lain selama 500 tahun dari
zaman keemasannya.
Sumber Tulisan : Buku Islam dan Sains -Pertarungan Menegakkan Rasionalisme- Pervez Hoodbhoy
Sumber gambar : Disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar