Kamis, 11 Oktober 2012

Sains Islami atau Sains Muslim?


Ini sama sekali bukan perdebatan tentang semantik.  Yang menjadi masalah ialah apakah sains dikembangkan oleh kaum Muslimin pada zaman pertengahan berkaitan secara khas dengan teologi dan akidah islam, atau apakah taknik-teknik pada dasarnya milik peradaban umat manusia lain.
Upaya untuk memisahkan sains yang partikularistik dari yang universalistic sama dengan menanyakan apakah sains zaman keemasan mesti dinamakan sains Islami atau sain Muslim.
Marilah kita perhatikan matematika. Jenis problem-problem yang oleh matematikawan Muslim dianggap patut diperhatikan tidak berbeda dari jenis problem-problem yang menjadi perhatian matematikawan Mesir, Babylonia, India, Yunani ribuan tahun sebelumnya, atau yang merupakan mata kajian yang dijadikan objek penelitian beberapa abad kemudian. Capaian-capaian dalam lapangan ini memberikan kesaksian kepada kenyataan ini. Jamsyid al-Kasyani merumuskan teori binomium dan dengan demikian mengatisipasi teori binomium Newton yang ditemukan 700 tahun kemudian. Abdul Wafa’ merumuskan teori sinus dan trigonometri ; al Khawarizmi mensistematisasi kajian tentang persamaan-persamaan melalui kajiannua dalam aljabar ; Omar Khayyam mengembangkan solusi geometris yang berkenaan dengan persamaan-persamaan pangkat tiga, dan lain-lain. Sementara diperlihatkan bahwa kecintaan kepada matematika berkaitan langsung dengan doktrin Keesaan (Tauhid). Jelas bahwa kebudayaan-kebudayaan lain juga mengembangkan matematika yang identik dengan yang dikembangkan di dunia Muslim.
Kesimpulannya, tak ada sesuatupun dalam matematika Muslim yang dapat disebut sebagai matematika Islami. Apabila dijumpai perbedaan, maka perbedaan tersebut hanya fakta bahwa peradaban Muslim berprestasi lebih baik ketimbang peradaban-peradaban lain selama 500 tahun dari zaman keemasannya.

Sumber Tulisan : Buku Islam dan Sains -Pertarungan Menegakkan Rasionalisme- Pervez Hoodbhoy
Sumber gambar : Disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar